07 Februari 2008

Trik PERKALIAN

799 x 11 = ….
kalikan 10 dulu

krn 11 adalah 10+1 maka
7990 + 799 = 8.789

begitu juga bila dikalikan dengan 101, 1001, 10001 dll.

Itu juga berlaku untuk perkalian dengan 9 missal 799 x 9 maka yang gampang adalah kalikan 10 dulu baru dikurangkan dll

sumber : GPS Jakarta

KURSUS MATEMATIKA GRATIS !!!

From: “Ali Syehan” Date: Sun, 3 Feb 2008 06:13:05 +0700 (ICT)
Dear All,

Waspada UJIAN NEGARA tingkat SD mulai Mei 2008!
Ajak putra putri Anda mengikuti kursus matematika FREE: Menguasai Angka dan Bilangan. Sangat dibutuhkan anak-anak kita di kelas 6 SD yang harus mengikuti Ujian Nasional tahun ini!

Simak infonya di http://www.mathmagicschool.com/
Semoga bermanfaat.
Salam,
Ali Syehan

Mencongak dengan Metris


MAJALAH TEMPO 4-10 DESEMBER
Seorang dosen menemukan metode aritmatika baru yang lebih mudah dancepat. Mengatasi kelemahan Sempoa.
DUA jagoan matematika itu berdiri berjejer di depan papan tulis.Lawan mereka terpampang di depan mata masing-masing: dua buah soalperkalian kuadrat. Mereka harus adu cepat menyelesaikannya denganmetode perhitungan berbeda.
Dalam dua menit, pemenangnya tampak. Gung Kinaptyan, juara kelas VISekolah Dasar Regina Pacis, Bogor, tersenyum sambil mengibaskan sisakapur di tangannya. Teman sekelasnya, Samuel Wirajaya, pemenangkompetisi matematika terbuka tingkat SD se-Jabodetabek, masihberkutat menyelesaikan soal.
Kamis pekan lalu, guru mereka, Fransiska Ephi Sutisna, inginmembuktikan bahwa ada cara lain untuk menghitung perkalian selaincara tradisional, yaitu dengan mengalikan dari atas ke bawah, lalumenjumlahkannya, yang sudah puluhan tahun diajarkan di sekolah.Itulah cara yang dipakai Gung, dengan mengurutkan secara mendatardari kiri ke kanan.
Ternyata, kata Ephi, “Metode yang dipakai Gung memang lebih cepat.”Siswa-siswi SD Regina Pacis menyebut metode itu Metris alias MetodeHorisontal. Sudah setahun terakhir Ephi mengajarkan metode mencongakdari kiri ke kanan seperti itu kepada murid-muridnya. Metode baruitu ia pelajari saat kuliah di Fakultas Ilmu Keguruan, UniversitasKatolik Atma Jaya, Jakarta, tahun lalu. Lantaran ia menganggapmetode ini lebih cepat dan mudah dipahami, ia melakukan uji cobapada murid-muridnya.
Metris awalnya digagas oleh Stephanus Ivan Goenawan, 32 tahun, dosenFakultas Teknik Mesin, Unika Atma Jaya, Jakarta. Ivan tergerakmenyusun Metris karena melihat keterbatasan metode lama. “Metode ituhanya mengembangkan kemampuan analisis yang lebih meletakkanlandasan kemampuan numeris dan logika pada siswa,” ujarnya. Alhasil,proses pengajaran dengan metode vertikal hanya mengembangkan kerjaotak kiri saja. Sedangkan Metris bisa berfungsi untuk membentukmental aritmatika yang merangsang kreativitas.
“Kedua metode sebenarnya saling bersinergi kalau diterapkan,” kataIvan. Dengan menggunakan Metris, para siswa tak hanya mempunyaikemampuan numeris dan logika, tapi juga memiliki kepercayaan diridan daya kreativitas tinggi.
Metode yang amat membantu siswa ini adalah buah kegemaran Ivan yangsenang bereksperimen menyelesaikan soal-soal aritmatika sejak dibangku SMP Bruderan, Purworejo, Jawa Tengah. Ketika itu ia kerapmencari jalan sendiri karena tak pernah puas dengan cara gurunyamenjawab soal. Dalam pencarian, ia menemukan banyaknya keteraturanangka dalam setiap soal yang diberikan gurunya. “Sejak itu sayamulai menggunakan segitiga paskal dan notasi pagar, sebagai caramenyelesaikan masalah,” ujarnya.
Ketertarikan pada aritmatika pula yang membuat Ivan memilih kuliahdi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas GadjahMada. Enam tahun lalu, Ivan mulai merumuskan metode arimatikahorizontal secara sistematis. Tonggaknya adalah artikelnya yangditerbitkan di jurnal internal Unika Atma Jaya. Tulisan itu menarikperhatian sejumlah koleganya di Jurusan Matematika FKIP universitastersebut. Ia kemudian diundang untuk berbicara dan mendiskusikanmetode itu.
Metode yang masih bersifat teoretis itu sempat terbengkalai lantaranIvan harus menyelesaikan studi S-2 di Institut Teknologi Bandung. DiBandung pula ia beruntung berjumpa Alexander Agung, 28 tahun, sesamapenggemar matematika. Bersama kawan kuliahnya itu ia menyusun modulpraktis pengajaran Metris. pada 2005, begitu modul itu rampung, Ivandan Alexander menggelar pelatihan bagi para guru SD dan SMP.Sebelumnya, mereka sempat mempresentasikan metode tersebut kesejumlah dosen di FMIPA UI. Hasilnya? “Metode itu diterima sebagaisebuah metode pembelajaran baru yang menarik untuk aritmatika,” kataAlexander yang juga dosen di STEKPI, Jakarta selatan.
Melalui situs http://sigmetris. com , kedua sahabat itumemasyarakatkan temuan tersebut. Mereka juga menggelar sejumlahpelatihan bagi guru-guru SD, SMP, dan SMA. Sejauh ini, metode itubaru diterapkan di SD Regina Pacis, Bogor. Beberapa sekolah lainsegera menyusul setelah pada Desember ini mereka menggelar pelatihanuntuk guru-guru SD. “Tahun depan baru direncanakan kursus bagi anak-anak,” ujar Alexander.
Sekilas metode ini mirip Sempoa, metode berhitung kuno yangmenggunakan alat hitung dari Cina. Sempoa termasuk populer diIndonesia karena mengandalkan kecepatan berhitung. MenurutAlexander, Sempoa dan Metris memiliki kesamaan, yaitu mencapai tahapperhitungan mental aritmatika dan mengandalkan konsep asosiasiposisi. Bedanya, dalam Metris konsep asosiasi posisi dipelajarisecara langsung dengan mengenalkan konsep asosiasi posisi dengannotasi pagar kepada para siswanya. “Sempoa memiliki alur sendiri dantak sama dengan pendidikan sekolah, sementara Metris disesuaikandengan program pelajaran sekolah,” ujarnya.
Perbedaan yang lain, menurut Alex, Metris membuat anak bisamenjelaskan langkah yang diambil dengan memakai simbol matematikaseperti yang digunakan di sekolah pada umumnya. Sedangkan Sempoatidak. Sempoa, menurut Ivan, membuat anak cenderung individual danlebih berorientasi pada hasil ketimbang proses.
Siswa yang ikut Sempoa kerap tak bisa menjelaskan proses perhitunganyang dilakukannya kepada orang lain. Penyebabnya lantaran dia tidakmemakai simbol matematika yang diformalkan. Alat peraga berupa manik-manik biasanya cuma bersifat sementara. “Dalam prakteknya, ia harusmemvisualisasikanny a dalam imajinasi, dan tak semua anak bisaseperti itu,” kata Ivan.
Fakta ini kerap menimbulkan kesalahpahaman. Orang tua seringmenyalahkan guru karena menilai jawaban anaknya salah. Guru biasanyaberkukuh karena tidak tahu apakah jawaban itu buah pikir si anakatau hasil menyontek. Soalnya, si anak tak bisa menjelaskanprosesnya. Maka, kata Ivan, “Penggunaan Metris bisa menjadi jembatanantara Sempoa dan metode vertikal yang dikembangkan sekolah.”
Di SD Regina Pacis, percobaan menggunakan Metris sejauh ini berhasilmengubah citra matema-tika yang menyeramkan. Dalam percobaan, paramurid awalnya diminta menyelesaikan soal aritmatika dasar denganmetode lama, yaitu perhitungan dari atas ke bawah. Setelah itu,mereka diberi soal yang harus diselesaikan dengan Metris. Ternyatapara murid bisa mengerjakan soal dengan lebih cepat dan akurat.Secara perlahan nilai mereka pun membaik. Tak mengherankan bilamereka kini menjadi lebih antusias terhadap matematika. “Merekamenyukainya karena lebih cepat dan mudah,” ujar Ephi.
Beberapa siswa yang dulu fobia alias takut terhadap pelajaranmatematika kini berbalik. Maria Yohana salah satunya. Nona kecil inidulu selalu grogi bila pelajaran matematika tiba. Setiap kali adaulangan matematika dadakan, nilainya tak lebih dari angka 6. Kini,semua itu tinggal cerita. Nilai 10 telah biasa ia terima. Mariabahkan sudah berani mengacungkan tangan, menawarkan diri untuk majuke depan kelas untuk mengerjakan soal yang diberikan guru.
Siswa yang berbakat matematika kini juga semakin kreatifmenyelesaikan soal. Beberapa anak menciptakan rumus-rumus sendiriuntuk menyelesaikan soal yang diberikan guru. Begitu sukanya merekapada matematika sampai-sampai meminta guru mendirikan klubmatematika di sekolah. “Saya membiarkan mereka berkreasimenyelesaikan soal dengan cara mereka sendiri. Asalkan logikaberhitungnya benar,” ujar Ephi.
oleh : Widiarsi Agustina dan Arif Fadillah